Explaining The Unexplainable
Courtesy: Google |
Apakah kamu pernah merasakan ketidaktahuan akan sesuatu yang terjadi dengan dan di dalam dirimu sendiri? Jika pernah, maka selamat untuk kita yang sejalan! Sejalan dalam ketidaktahuan akan sesuatu yang terjadi dengan dan di dalam diri kita sendiri.
Ya, ini adalah perjalananku denganmu yang penuh dengan kecemasan tidak berdasar.
Perjalanan ini tidak mudah, aku dan kamu tahu itu dengan baik. Tidak jarang kita harus berhenti untuk sekadar menghela nafas karena segala sesuatunya terasa menghimpit dan tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk kamu bernafas. Bisakah kau merasakan itu? Mungkin jika kamu adalah seorang yang claustrophobic, sedikit demi sedikit kita sedang berbagi rasa.
Jika terasa sangat melelahkan, aku seringkali menarik diri dari lingkunganku hanya untuk berdiam. Ya, tidak melakukan apapun. Tidak jarang aku menggunakan hal ini untuk berleha-leha dan lari dari tanggung jawabku. Tetapi ada kala ketika akupun sama sekali tidak dapat melakukan apapun karena dadaku terasa sesak, aku dihimpit oleh kepanikanku sendiri. Aku takut akan hal yang membuatku takut. Tidak jelas, bukan?
"Sudah tahu panikan, tapi masih membiarkan diri jadi procrastinator," adalah kata-kata yang seringkali berputar dikepalaku ketika aku diberikan tugas yang baru. Belum terpikir untuk mengerjakannya, tetapi aku tahu kalau aku hanya akan mengerjakan tugas tersebut ketika sedang terhimpit deadline. "Berkah SKS (sistem kebut semalam) bagi seorang procrastinator adalah ide yang mengalir begitu banyak," tetapi untuk seorang yang "panikan" seperti aku dan kamu, mungkin ini berarti kita sedang menggali kuburan kita sendiri. Tidak akan terasa hingga akhirnya kita mencapai titik terdalam ketika menggali dan kemudian tersadar kalau sebentar lagi kita akan dikubur. Analogi yang messed up, i know, tapi that's just it, that's the truth. Well, at least for me.
Hal bodoh lainnya adalah ketika debaran di dada sudah tidak terkontrol lagi, kemudian kita masih memberikan rasa kepada sebuah ciptaan terluar biasa di dunia ini, kopi. Aku tidak mengatakan bahwa kopi itu buruk, tetapi tanpa disadari, tidak jarang kopi membuat jantungmu berdegup tidak karuan. Terlebih ketika kita yang panikan ini, dengan loyal, selalu mengonsumsinya. Maka sesak bukanlah rasa baru yang harus dihadapi, melainkan rasa yang dari hari ke hari harus kita jalani.
Jika sudah sampai titik terendah, aku tak mampu melakukan apapun, alias pasrah. Entah pasrah atau bagaimanapun itu, tetapi aku lebih suka berpikir bahwa aku harus berpasrah.
Berpasrah bukanlah hal yang mudah untukku yang sebenarnya sangat perfectionist tetapi juga seorang procrastinator yang panikan. Bisa dibayangkan, ketika dikejar deadline, tetapi masih harus memikirkan kompisisi terbaik agar menghasilkan sesuatu yang decent agar orangtuaku bisa bersenang hati. Maka memutuskan untuk berpasrah adalah pilihan tolol yang mau tidak mau harus kupilih. Memilih untuk berpasrah sama saja aku sedang berperang dengan egoku dan perang dengan ego adalah hal terkonyol tetapi juga tersulit, yang kurasa kamu ataupun kalian juga rasakan dari hari ke hari. Melelahkan tetapi tidak selalu menghasilkan hasil yang baik atau bermanfaat.
I like things certain way, not my way, but certain way, jadi setidaknya kau bisa mengantisipasi rasa yang harus hadir ketika sesuatu tidak berjalan sesuai yang kuprediksi, atau yang kuinginkan. Hal ini menjadi benteng pertahananku semenjak beberapa tahun lalu, bahkan jauh sebelum aku mengenal diriku yang "panikan" ini and i learnt it the hard way. That it why i won't let my guard down easily.
Ketika aku mengeksplor dan tahu bahwa aku adalah aku yang panikan, semuanya menjadi tidak sama. Setiap hari aku harus berhadapan dengan kepasrahan, kesal, amarah, sedih, deg-degan (if that's what you called it) bahkan tremor diiringi air mata yang tidak dapat diantisipasi.
Living with anxiety is f-cking difficult and very exhausting. Let alone the anxiety, the headache that comes after or even during the anxiety attacks is killing me slowly. So bear with me and my depressing writing. Its just me being me, expecting other people would understand what it feels like to have an invisible disability. You might find this writing doesn't make sense at all, but it defines what's in my head at the moment. Its unclear, messy, stressful thoughts, and certainly unxplainable.
Comments
Post a Comment