Pulang
![]() |
(Source: Google.com) |
Selama empat tahun perkuliahan yang kutempuh di STFT Jakarta, jarang sekali aku memiliki keinginan untuk pulang. Ya, pulang kepada sebuah tempat yang kata banyak orang adalah kampung halaman, tempat asal, dan lain sebagainya. Jika demikian, bagiku tempat itu adalah Balikpapan, sebuah kota yang tidak terlalu besar di pinggiran pulau Kalimantan Timur itu. Dan lagi, tidak jarang aku masih bingung mendefinisikan rumahku, asalku yang sebenarnya. Terlahir dari pasangan yang berbeda suku, budaya dan lain sebagainya (Mamaku Manado, dan Papaku Maluku Tenggara) membuatku kerap kali berpikir, apakah aku harusnya berumah di sana? Dalam setiap kebingungan yang kian menghampiri, kuputuskan bahwa rumah, asalku adalah dari Balikpapan. Demikian beberapa kali akupun berpulang ke Balikpapan. Salah satunya adalah untuk mengucapkan salam perpisahanku kepada seorang yang amat kucintai, Omaku.
Setelah kematian Omaku, kutemukan diriku malas untuk pulang ke Balikpapan karena secara tidak sadar akupun mengakui bahwa sudah tidak ada apa-apa lagi di sana. Tentu Papaku sanga senang, karena beliau tidak perlu mengeluarkan biaya besar untukku karena aku tidak akan merengek untuk minta pulang lagi. Hal itu tidak menggangguku sama sekali. Akan tetapi, hal yang menggelisahkanku bukanlah biaya yang mahal untuk pulang (karena aku belum menghasilkan uangku sendiri! hehe), tetapi ke mana aku harus pulang?
Mengapa 'harus' pulang? tanyamu.
Bukankah itu yang dilakukan oleh setiap insan yang lelah berjuang di medan tempur yang kejam ini?
Bukankah pulang kemudian menjadi hal yang dirindukan diujung malam yang sepi?
Bukankah dirimu juga ingin pulang?
Bukankah memiliki tujuan untuk pulang itu menghilangkan rasa khawatirmu, satu saja?
Bukankah pulang berarti melegakan?
Oke, pulang tidak selalu menyenangkan. Aku setuju akan hal itu. Bagaimana menyenangkan jika pulang kepada orang-orang yang kita sebut keluarga hanya untuk pada akhirnya diomeli, dicemooh, dll?
Pulang bagi sebagian orang mungkin bukanlah hal yang diinginkan, bahkan dihindari. Tetapi bagi kalian yang menghindar untuk pulang, bukankah sebagian dari kalian sudah memiliki tempat untuk pulang? Tujuan akhir yang terbayang pada ujung malam yang mencekam? Bukankah kemudian keenggananmu untuk pulang adalah hal yang egois? Tidakkah kau sadar bahwa rumah juga rindu pemiliknya?
Sampai pada paragraf ini, dan sejak awal, aku menyadari bahwa pulang bukanlah hal yang kutunggu-tunggu lagi. Pulang tidak lagi menjadi hal yang membuatku mempercepat jariku untuk mengejakan makalah-makalahku sehingga aku dapat berpulang.
Pulangku entah ke mana, aku tidak tahu, tidak ada seorangpun yang tahu,
Tetapi, diujung pikiran dan perasaan terdalam, aku rindu pulang. Aku rindu berpulang.
Benarkah?
Pulangkah yang kurindukan?
Atau aku rindu untuk memiliki tujuan untuk berpulang? Untuk mengaduh, untuk berlabuh, untuk sejenak memejamkan mata dan menarik nafas setelah hari yang panjang?
I'm in need of reassurance
I crave certainty
I'm desperate for serenity that you can find in your so-called-home
I'm longing for a place to called home
Dalam kebingungan ini, berpulang terasa mustahil
Pulang menjadi sebuah kata kerja yang dihindari
Rumah menjadi sebuah capaian yang sulit untuk digapai
Dan aku rindu.
00.21
Di Upnormal Raden Saleh
Sehari setelah serangan kecemasan lainnya
Comments
Post a Comment